Mengisi Hari liburan selama 3 hari di Taman Nasional Pangrango 26-28 Februari 2010. Para Pelaku (mayoritas penghuni salah satu kosan di Kelapa Dua-Depok):
1. Yudi Panggabean (Penggerak dan bendahara)
2. Tri Agus Sinaga (Koki)
3. Muhammad Supatmo Sutoto Sugee (Logistik)
4. Chandra (Logistik)
5. Galih Hutagalung (Ngeramiin)
6. Dul (Ngerameiin)
7. Verynandus Hutabalian (Ngerameiin)
Pagi hari, Tanggal 26 Februari 2010 setiap pelaku mempersiapkan perlengkapan pakaian selama 3 hari setelahnya berkumpul mengikuti Pungli (pungutan liar Rp 50.000,- per pelaku) untuk biaya segala akomodasi dan membagi tugas mempersiapkan perlengkapan tenda (NB: tenda pinjaman), bahan-bahan makanan untuk masak di Pangrango dan tidak lupa bahan bakar (Rokok). Uang yang tersisa di bendahara Rp 185.000 untuk biaya perjalanan setelah di kurangi dengan biaya pembelian bahan makanan.
Perjalanan di mulai pukul 14.00 WIB naik Angkot menuju Terminal Rambutan tepatnya di jalan baru, sesampainya di sana semua pada kebingungan menyerupai anak-anak gelandangan, pengamen dan sejenisnya. Dari sebagian pelaku bergegas menanyakan beberapa orang di sekitar kita untuk meminta saran ke mana kaki kami harus melangkah selanjutnya. Ini merupakan pengalaman pertama kalinya untuk semua pelaku terkecuali Muhammad Supatmo Sutoto Sugee (ini kedua kalinya buat M. Sutoto, membawa anak-anak yang dia sendiri juga ke bingungan).
Akhirnya kita dapat saran dari Dodi, kenalan baru yang arah perjalananya sama dengan para pelaku yang tersesat. Sarannya kita harus menuju Ciawi dulu karena jalan menuju puncak lagi di buka-tutup alias macet, sehingga banyak bus yang tidak melalui akses jalan ini. Jalanan menuju puncak akan selalu macet menjelang hari libur karena banyaknya wisatawan domestik yang berkunjung ke daerah puncak untuk mengisi hari liburan.
Akhirnya diputuskan kita naik bus menuju Ciawi-Cianjur dan setelahnya kita tunggu keterangan sesudah sampai di sana. Biaya ongkos yang kami keluarkan Rp. 6.000/orang. Kami menanggung ongkos Dodi sebagai ucapan terimakasih dari kami atas bantuannya menjadi peta hidup dalam perjalanan kami. Sesampainya di Ciawi, setelah turun dari bus tak terasa hawa kebingungan merasuk ke ubun-ubun kami. Hawa Kebingungan memberikan sentuhan di lekukan raut wajah kami, terpancar ekspresi muka memelas. Dodi yang tak jauh dari kami dengan segala panca indera yang dimilikinya merasakan luapan hawa kebingungan dari setiap kepala pelaku dan akhirnya dengan kemurahan hati dia memanggil para pelaku (Para pelaku berlari seperti kerumunan ayam yang lagi di beri makan oleh Tuannya).
Dodi menyarankan kita naik mobil bak terbuka karena ongkosnya murah dan kondisi keuangan tidak menyediakan pilihan lain. Dengan sabar kami menunggu kira-kira saat itu pukul 16.30 WIB, akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dodi dan M. Sutoto menghentikan laju mobil dengan melambaikan tangan dan berhenti tidak jauh dari kerumunan orang-orang terlantar yang harus menemukan jalan yang lurus. Sebelum kami menaiki mobil tersebut, M. Sutoto mendapat mandat kehormatan dari kami sebagai negosiator menemui juru kemudi untuk melobi biaya ongkos yang harus kami keluarkan untuk 8 orang (Dodi termasuk) dan akhirnya disepakati Rp 20.000,-. Bergegas para pelaku berlarian menaiki mobil dengan segala perlengkapan tempur di pundak.
Di sepanjang perjalanan yang macet dengan antrian kendaraan, suara kami terdengar riuh-rendah. Canda, tawa dan nyanyian yang kami hadirkan di sepanjang perjalanan menjadi pusat perhatian pengendara yang ada di sekitar angkutan kami. Di bak mobil ada 12 orang karena tidak hanya kami saja yang menggunakan jasa mobil tersebut. Bak mobil cukup sempit buat kami duduk karena hampir sepertiga spacenya dipakai untuk meletakkan barang-barang perlengkapan kami. Di tengah perjalanan tepatnya di Taman Safari Indonesia Cibeureum Kecamatan Cisarua hujan cukup deras mengiringi perjalanan kami, tentunya kami tidak kebahasan karena beruntung di mobil tersebut tersedia sebuah lembaran plastik yang cukup luas untuk menutupi seluruh badan mobil bak terbuka tersebut sehingga kami bekerja sama merentangkan plastik tersebut di atas kepala kami, saat itu pukul 19.30 WIB.
Akhirnya kami sampai di Cibodas dan kami harus berpisah dengan Dodi karena kami mengemban misi yang berbeda. Untuk menuju Taman Nasional Pangrango kami harus menaiki angkutan umum dengan biaya ongkos Rp. 2000,- per orang. Sesampainya di gerbang Bukit Perkemahan Taman Nasional Pangrango, biaya masuk yang di kenakan Rp 13.500 per orang untuk satu malam. Kami tidak punya duit yang cukup karena uang yang tersisa di bendahara Rp 100.000 (dikurangi dengan biaya tak terduga). Akhirnya terjadi kesepatakatan bersama, ide curang bersemai di kepala kami dengan cara memanfaatkan jasa calo dan kami di haruskan hanya membayar Rp 35.000,- untuk 7 orang sekaligus dalam 2 malam. Kami memang bisa masuk ke bumi perkemahan Taman Nasional Pangrango lewat pintu belakang dan setelahnya kami mulai mendirikan tenda dan segera mempersiapakan alat-alat masak karena cacing perut mulai menuntut haknya, saat itu pukul 21.00 WIB.
Tak lama kemudian kami didatangi sejumlah orang yang ternyata petugas keamanan Bumi Perkemahan Taman Nasional Pangrango, salah satu dari mereka menanyakan kelengkapan karcis masuk yang harus dimiliki oleh setiap orang yang kemping di Bumi Perkemahan Taman Nasional Pangrango (Tak ada seorangpun dari kami yang menjawab pertanyaan mudah tersebut, ingin berkelit tapi takut kemaluan bertambah menjadi dua/takut kualat). Kami diusir dan di haruskan mengangkat segala perlengkapan yang telah kami dirikan saat itu juga. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa harus mengepak kembali segala perlengkapan kami ke tas. Kami keluar dari pintu belakang tempat awal kami masuk.
Di pintu Gerbang Taman Nasional Pangrango ada 2 pemuda setempat dengan kemurahan hati menawarkan lokasi gratisan buat kami berkemah malam itu juga (saat itu pukul 22.30 WIB), bendahara kami memberikan uang Rp. 30.000 sebagai ucapan terima kasih. Kami mendirikan tenda kembali dan mulai memasak. Inti Acara perkemahan yang kami adakan selama 3 hari sebatas untuk menyantaikan diri dengan keindahan alam pegunungan.
Pagi hari tanggal 28 Februari 2010, saat itu jam 07.00 WIB. Para pelaku bangun pagi untuk mempersiapkan diri pulang, semua aktivitas dimulai dengan mengepak pakaian kotor dan perlengkapang masak ke tas. Setelah semua selesai, sebagian dari para pelaku hendak mandi ke sungai yang tak jauh dari tenda yang kami dirikan (jaraknya lebih kurang 20 meter) dan sesuatu hal buruk terjadi, 3 pasang sepatu yang terletak di luar tenda hilang. Semua sepatu ditaruh di luar tenda, korban salah satunya adalah penulis sendiri (Verynandus Hutabalian). Akhirnya Aku, Galih dan Dul dalam beberapa kilometer perjalanan pulang bertelanjang kaki. Sepintas lalu dalam perjalanan, kami mencari warung terdekat yang menjual sandal swallow. Syukurlah apa yang kami cari ketemu, akhirnya aku pulang dengan kaki beralas.
Momen terbaik yang tidak terlupakan adalah Saat kita berbagi suka maupun duka dengan orang-orang terkasih yang selalu berada di dekat kita.
Perjalanan Hidup akan bermakna jika selalu beriring dengan sebuah kebersamaan.
Memorial menghempaskan waktu dan keabadian memberikan ruang ingatan di kemudian hari.
0 komentar:
Posting Komentar