Sejak 700 ribu tahun lalu Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, telah menjadi kompleks hunian manusia purba. Mereka tinggal di ceruk dan goa di wilayah perbukitan karst ketika mayoritas daerah lain di DIY masih tergenang air.
Akhir Agustus lalu Kompas menyusuri ceruk dan goa yang di dalamnya pernah ditemukan bukti hunian manusia prasejarah dengan berbekal data Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala DI Yogyakarta.
Artefak tulang dan batu dengan mudah ditemui. Butuh perjuangan lebih keras menemukan lokasi goa dan ceruk yang umumnya terletak di tengah ladang pertanian tadah hujan atau hutan jati.
Apalagi tak ada petunjuk ceruk maupun goa tersebut sisa peninggalan zaman prasejarah. Dengan berpedoman alamat berupa nama dusun dari hunian prasejarah, kami mengunjungi sebagian dari ratusan bekas hunian makhluk prasejarah di Gunung Kidul.
Kami mengandalkan petunjuk warga yang masih mencari hijauan makanan ternak di antara tanaman jati yang meranggas pada musim kemarau. Warga desa umumnya mengenali nama ceruk-ceruk tersebut, tetapi jarang mengetahui sejarah ceruk.
Di perbatasan antara Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, seperti di Kecamatan Ponjong, kami menemukan beberapa ceruk yang pernah dihuni manusia purba. Ceruk atau goa payung itu memiliki sirkulasi udara yang baik, memperoleh cahaya matahari, dan dekat dengan sumber air berupa telaga atau sungai bawah tanah.
Song Bentar
Berada di mulut sebuah ceruk di Dusun Bentar, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, yang dinamai Song Bentar, keteduhan segera menelusup. Terik matahari tengah hari seperti diusir jauh oleh bayang-bayang ceruk. Stalaktit batu kapur putih mengilap bergelantungan di atap ceruk.
Song Bentar terletak di pucuk bukit karst. Hanya butuh lima menit berjalan kaki mendaki untuk mencapainya. Dari bawah bukit, ceruk itu terlihat seperti mulut naga yang menganga lebar. Pepohonan jati di depan ceruk menyamarkan bentuk utuh Song Bentar bila dilihat dari kaki bukit karst.
Warga sekitar, seperti Sagiyo dan Tumiyem, yang bermukim tepat di bawah Song Bentar, mengaku sama sekali tidak tahu menahu ceruk tersebut pernah menjadi hunian manusia purba sampai mereka dilibatkan dalam penggalian oleh para arkeolog. Sagiyo mengaku ikut membantu pengangkatan beberapa rangka manusia purba yang tubuhnya relatif utuh.
Menurut data Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala DIY, di Song Bentar terdapat fragmen tengkorak dan tulang manusia purba Homo sapiens. Setidaknya ada delapan individu, terdiri dari lima dewasa, dua anak-anak, dan satu bayi. Beberapa alat batu, seperti batu giling, beliung persegi, dan mata panah pun banyak dijumpai di lokasi ini.
Sekitar 2 kilometer dari Song Bentar, yaitu di Dusun Kanigoro, Desa Tambakromo, Kecamatan Ponjong, terdapat hunian manusia purba lain, yaitu Song Blendrong. Ceruk ini menyerupai Song Bentar, tetapi jauh dari perkampungan penduduk dengan jalan beraspal yang masih bisa dilewati kendaraan roda dua atau roda empat.
Song Blendrong juga kaya dengan artefak peninggalan manusia purba. Di Song Blendrong kami dikejutkan banyaknya tulang yang kemungkinan berasal dari manusia purba beserta peralatan dari batu, tanduk, maupun serut dari kerang berserakan di lantai ceruk.
Lantai Song Blendrong telah banyak digali untuk diambil kandungan fosfatnya sehingga artefak itu bermunculan ke permukaan. Para petani di sekitar mulut goa baru percaya setelah melihat sendiri tulang yang di berada sana.
Ceruk di Song Bentar sebenarnya juga pernah ditambang, tetapi penambangan fosfat tersebut berhenti setelah kandungan fosfat menyusut.
Keindahan ceruk dan goa prasejarah di Gunung Kidul ini memang terancam lenyap karena aktivitas pertambangan yang tidak terkendali. Apalagi goa dan ceruk prasejarah ini terletak di ladang milik penduduk setempat. Padahal, kehadiran ceruk dan goa dalam kealamiannya dapat memberikan gambaran kemampuan nenek moyang kita bertahan hidup dengan menyiasati alam.
Kami juga mengunjungi Goa Seropan di Dusun Semuluh, Desa Gombang, Kecamatan Semanu. Goa dengan aliran sungai bawah tanah itu hanya bisa ditelusuri menggunakan senter dan belum pernah diteliti para arkeolog, tetapi juga kaya dengan tulang purba.
Bersama rekan-rekan penelusur goa dari Acintyacunyata Speleological Club, kami menyusuri lorong baru di Goa Seropan yang sebelumnya tertutup lumpur. Lorong di kedalaman 60 meter dari permukaan tanah ini tiba-tiba muncul setelah banjir besar di sungai bawah tanah tahun lalu.
Seperti di bebatuan tepian aliran sungai bawah tanah pada lorong lama yang kaya cetakan tulang purba, lorong baru ini pun menyingkap potongan tulang kaki, gigi, dan rusuk mamalia yang belum diketahui jenisnya karena belum pernah diteliti.
0 komentar:
Posting Komentar